KOMPAS.com - Hati-hati membawa tas palsu dari merek terkenal. Sudah
banyak cerita di kalangan ibu-ibu, ketika mendarat di pelabuhan
internasional, tas palsu itu disita petugas. Masih mending cuma disita,
kadang barang tersebut dihancurkan di depan mereka—mungkin untuk
mempermalukan.
Pengawasan barang palsu memang semakin ketat. Seperti diceritakan
Cicilia King, Communication Manager Louis Vuitton (Indonesia), terutama
di Eropa pihak perusahaan melakukan pendidikan termasuk kepada
petugas-petugas di bandara sehingga mereka mampu mengidentifikasi suatu
barang asli atau palsu. Louis Vuitton, menurut berbagai catatan, adalah
merek terkenal paling banyak dipalsu.
Meski kualitas barang palsu makin hari semakin canggih—kadang sulit bagi
yang tak akrab dengan dunia konsumsi untuk membedakannya dari yang
asli—petugas toko pasti bisa membedakan. Ada cerita, seorang wanita dari
Indonesia berbelanja di sebuah butik merek terkenal di Singapura. Tas
yang dipakainya asli. Hanya ketika mengeluarkan dompet kecil dari dalam
tas, pihak toko sempat melihat sepintas dompetnya. Tak berapa lama
sepulang ke Indonesia, wanita itu menerima surat dari merek terkenal
tadi yang isinya peringatan berikut konsekuensi hukumnya, bahwa dia
memakai dompet palsu dari merek mereka.
Soal pemalsuan dianggap serius oleh merek-merek terkenal. Mereka merasa
perlu melindungi merek dagangnya, desain, berikut hak ciptanya. Cicilia
King mengatakan, di Indonesia urusan legal berkaitan dengan pemalsuan
dibawahi oleh departemen yang mengurusi hal ini untuk kawasan Asia
Pasifik. Ia menunjukkan catatan yang pernah dilakukan Louis Vuitton,
misalnya penggerebekan empat pabrik dan tiga gudang di Gyeonggi, Korea,
penangkapan truk yang memuat 40.000 produk palsu di Guangzhou, China,
dan lain- lain. Bukan hanya di Asia, operasi seperti itu juga menemukan
berbagai produksi palsu di Eropa, Amerika, serta Amerika Latin.
Logo, simbol
Kalau pada kenyataannya barang palsu masih terdapat di mana-mana di
sekitar kita, itu semata-mata menunjukkan memberantas pemalsuan memang
bukan soal mudah. Dana Thomas, penulis buku berjudul Deluxe (2007) yang
menceritakan ihwal barang-barang mewah, menuturkan pengalaman ketika
dengan seorang pejabat urusan legal dari sebuah merek mewah mengunjungi
Guangzhou, China. Guangzhou dikenal dunia sebagai tempat diproduksinya
berbagai tiruan merek mewah.
Katanya, memberantas pemalsuan di China tidak mudah. Konfusius
mendemokratisasikan pendidikan di China pertama-tama dengan mendorong
pengopian karya pemikir-pemikir besar, agar pengetahuan cepat menyebar
ke semua kelas. Tambah rumit, pemerintahan komunis mengisyaratkan semua
properti milik negara—bukan individual, perusahaan, atau korporasi.
Tahun 1980-an mulai ditetapkan undang-undang berhubungan dengan paten
dan merek dagang. Selama berabad-abad mereka terbiasa mengopi apa saja,
tiba-tiba harus stop, apakah persoalan kemudian sesederhana itu? Di situ
terjadi semacam dilema kebudayaan.
Sejarah peniruan atau pemalsuan konon setua peradaban ini sendiri. Di
Roma pada 100 tahun sebelum Masehi, muncul kelompok kaya baru. ”Kekayaan
tidak serta-merta memberikan status,” kata Jonathan Stamp, ahli sejarah
klasik dan pembuat film dokumenter seperti dikutip Thomas. ”Dibutuhkan
kekayaan plus sesuatu yang lain, misalnya obyek.”
Untuk mendapatkan status seperti kelompok kaya sebelumnya, kelompok kaya
baru ini mulai meniru-niru perkakas dan berbagai peranti orang kaya
lama. Lahirlah barang-barang tiruan, meluas seiring meluasnya kelompok
kaya baru itu.
Nyaris menjadi kodrat, orang mengekspresikan status lewat
simbol-simbol—pakaian, ornamen, dan barang-barang kepemilikan lain. Juga
melekat pada sebagian besar orang, kecemasan mengenai bagaimana orang
lain menilai status sosial mereka. Di situ simbol semakin menemukan
signifikansi peran.
Logo Louis Vuitton yang terkenal dengan huruf L dan V saling kunci
disertai motif floral diciptakan Georges Vuitton tahun 1896, untuk
mengenang ayahnya, Louis Vuitton. Kini, simbol itu dipalsu di mana-mana.
Kalau melihat dinamika bisnis sekarang di mana simbol dan merek
dikedepankan sebagai ujung tombak untuk menjual produk, bisa dibayangkan
nilai sebuah simbol, sebuah logo. Perusahaan-perusahaan modern
menginvestasikan ribuan sampai jutaan dollar untuk sebuah logo,
simbol—istilah bisnisnya ”branding”. Untuk barang-barang luks, investasi
bagi citra yang diwujudkan lewat logo bisa mengungguli investasi untuk
produknya sendiri—obyek yang diingini publik.
Suatu kali mengunjungi Paris dan berkesempatan melihat workshop Louis
Vuitton, terlihat betapa rumit mereka menciptakan produk untuk
menghindari peniruan. Diciptakan kode-kode khusus, termasuk variasi
kunci bagi trunk mereka, yang kalau kunci hilang, hanya pabrik mereka
yang bisa membetulkan variasi kunci itu. Barang harus dikirim ke
workshop di Paris. Penyelesaian produk secara manual—bukan mesin—adalah
cara lain lagi untuk mencapai eksklusivitas dan otentisitas. Sentuhan
tangan akan menghasilkan ketidaksempurnaan yang dicapai mesin (nah,
akhirnya bukankah kembali ke kebesaran manusia?).
Persoalannya, untuk tas perempuan bermerek yang harganya puluhan sampai
ratusan juta rupiah, berapa orang bisa mencapainya? Bagaimana para
sekretaris, guru, pegawai negeri bisa membeli tas yang harganya puluhan
juta? Seperti Hermes dengan edisi bernama Birkin, yang semua wanita
kelas atas mejeng di majalah dengan merelakan tangannya sekadar jadi
gantungan? Tak heran, kalau kemudian muncul ”Birkin-Birkin” tiruan
dengan harga murah, yang dipelesetkan sebagai ”birkinan Tajur”,
”birkinan Yogya”, dan seterusnya.
Antarkelas
Sejak lama sebenarnya antara asli dan palsu menjadi ajang kontestasi
antarkelas, antara kelas atas versus kelas-kelas di bawahnya. Sekali apa
yang diakui sebagai selera kelas atas ditiru oleh kelas di bawahnya,
seperti diteorikan Bourdieu, mereka akan segera melakukan investasi
finansial dan kultural yang baru dalam simbol-simbol untuk pembedaan.
Begitu tas mahal bisa digapai banyak pihak, kelas sosial yang tadinya
mengonsumsi secara eksklusif akan pindah ke perwujudan selera berkelas
lain, misalnya kesenian. Seni rupa menjadi obyek konsumsi baru, seni
pertunjukan menjadi klangenan. Itu contohnya.
Begitu berjalan terus-menerus. Menurut Coco Chanel, ”Being copied is the
ransom of success (ditiru adalah tebusan bagi sebuah sukses).”
Catatan tambahan: kalau Anda sebagai pemimpin tidak sukses, jangankan palsunya, aslinya pun tak laku dijual dalam pemilu.
Hehehe.. makanya agan2 sekalian beli tas yg asli jgn yg abal-abal....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar